45% Off untuk Hari Perempuan Sedunia

Semangat Abbasource adalah membangun ekosistem kreatif bagi semua kaum kreatif Indonesia. Perempuan mengambil peran penting dalam upaya ini. Oleh sebab itu, untuk memperingati dan mendukung perjuangan para perempuan khususnya perempuan Indonesia, Abbasource mempersembahkan dining chair dengan harga khusus bagi pelanggan perempuan dalam rangka Hari Perempuan Sedunia.

Koleksi Abbasource Studio yang feminin dan mengerti kebutuhan perempuan untuk kebutuhan dining chair. Silakan dicoba.

Rona

Memperingati #HariPerempuan Sedunia, Abbasource Studio mempersembahkan dining chair yang feminin. Rona, mengambil warna kemerahan dari velvel fabric yang membalut spons lembut namun kuat. Dining chair ini dipersembahkan untuk perempuan aktif dan memahami kebutuhan perempuan untuk melakukan segala aktivitas dengan kursi ini. Duduk santai atau bisa dipadukan dengan meja kerja. Kerangka dan kaki dari metal dengan finishing gold memberikan kesan elegan meski tetap playfull.

Domina

Seri feminin dari Abbasource Studio untuk perempuan Indonesia. Namun kali ini feminin yang kukuh, tegak menghadapi tantang setiap hari. Domina hadir untuk Anda. _Dining Chai_r dengan _regular foam_ yang dibalut dengan _fabric_ berwarna cerah. Anda bisa memadukan dengan meja warna apa saja. Kerangka _solid wood_ dengan _finishing_ halus. Silakan dicoba.

Vir

Anda membutuhkan desain yang chic dan edgy. Vir, persembahan Abba Studio untuk Anda perempuan aktif. Vir didesain dengan lekuk di arm-nya. Selain memberikan desain yang unik, lekuk ini memberikan kenyamanan ketika duduk. Warna berbeda antara dalam dan luar memberikan kesan dinamis. Bahan dari regular foam dengan penyangga kayu solid, memberikan keleluasaan dalam memadupadankan kursi ini dengan furnitur lainnya.

Leve

Bagi Anda yang suka warna-warna alam, Leve _dining chai_r persembahan Abba Studio untuk Anda. Desain ini lebih kekinian, bisa untuk ruang personal maupun ruang publik misalnya kafe atau lobi. Desain yang playfull, berbahan regular foam dengan kerangka solid wood. Kaki-kaki dibikin silinder dan dikerjakan dengan halus.

Hari Perempuan Internasional 2023: Embrance Enquity

Laman International Woman’s Day (IWD) merilis tema IWD 2023 adalah #embranceEnquity atau #rangkulKesetaraan. Hal ini ingin menyerukan bahwa kita semua bisa berperan serta. Kita semua bisa secara aktif mendukung dan merangkul kesetaraan dalam lingkup pengaruh kita masing-masing.

Sebetulnya, apa sih yang diperjuangkan oleh para perempuan sedunia terkait dengan slogan ini? Apakah mengalahkan laki-laki? Tentu tidak. Memang ada banyak pemahaman tentang feminisme, namun kesemua tersebut mengisyarakat kesetaraan. Artinya, perlakukan yang tidak diskriminatif terhadap para perempuan. Pada dasarnya kembali pada kemanusiaan.

Foto: dok. Unsplash

Perempuan tidak menuntut berlebihan namun perlakuannya setara. Tidak lebih rendah atau tidak juga minta ditinggikan. Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Dalam hal ini, kembali pada pengetahuan mendasar tentang jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin terkait dengan organ biologis sementara gender adalah konstruksi sosial. Jenis kelamin terjadi natural namun konstruksi sosial adalah kehendak sekelompok manusia.

Kesetaraan gender inilah yang diperjuangkan oleh para perempuan yang menginisiasi Hari Perempuan Sedunia. Perempuan bisa melakukan semua pekerjaan sebagaimana pekerjaan yang dilakukan laki-laki. Namun terkadang, perempuan mendapat perlakukan yang tidak adil hanya karena dia perempuan.

Di sisi lain, stereotipe perempuan kerap diidentikan dengan makhluk lemah. Stereotipe ini menjadikan perempuan harus “dilindungi” namun perlindungan yang kerap tidak tepat. Hasilnya malah mencederai hak-hak perempuan.

Bila ingin melihat betapa berdayanya perempuan, kita bisa melihat di masyarakat tradisional. Mama-mama Papua misalnya. Mereka adalah perempuan yang tangguh. Mama-mama ini kuat secara fisik sebab mereka biasa berladang dan masuk hutan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Selain kuat secara fisik, juga cakap dalam melakukan berbagai pekerjaan.

Persembahan Abbasource untuk Hari Perempuan

Menyongsong Destinasi Premium Labuan Bajo

Penulis: Josua Sumanjuntak


Jika berkesempatan mengunjungi Labuan Bajo saat ini, luar biasa upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan menjadi tujuan wisata turis premium. Pemerintah membangun trotoar lebar yang lebih mewah dari Jakarta, lengkap dengan pohon palem yang akan menyaingi jajaran palem di Florida. Pembangunan ini merupakan program Bapak Presiden kita yang menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas untuk wisatawan kelas premium. Wisatawan yang disasar adalah wisatawan yang punya “kantong dalam” alias banyak belanja.

Tantangan mengundang wisatawan kelas premium adalah level ekspektasi yang tinggi untuk menikmati kunjungan mereka. Kini, sulit mendapatkan barang yang unik dan berkualitas yang membuat orang sangat ingin membeli sebagai cendera mata. Tidak mudah memunculkan hal tersebut, maka pemerintah menjalankan program aksilarasi ini.

Karya penganyam perempuan Watu Panggakl. Foto: Josua Sumanjuntak

Program Aksilarasi Kemenparekraf  seperti sebuah mesin asah berlian yang mengasah berlian mentah menjadi berlian yang kemilau dan bernilai tambah tinggi. Perempuan Desa Watu Panggal adalah mata mata asah yang menciptakan kemilau berlian.

Kegiatan berlanjut di Hotel La Bajo, Labuan Bajo. Sekitar 20 orang perempuan dari Desa Watu Panggal berkumpul di ruang serba guna.

Melihat kumpulan perempuan ini membawa ingatan terbang ke tahun 1987, saat ke 3 perempuan belajar menganyam. Bagaimana semangat mereka belajar saat itu? Bersemangatkah? Yang jelas, tahun 2020 listrik PLN belum masuk ke Desa Watu Panggal, apalagi tahun 1987.

Namun semangat itu saya lihat kini. Waktu menjelang pukul 21.00 WITA, semangat untuk berbagi cerita dan bertanya tidak pula kandas. Sampai akhirnya menyerah dan semua istirahat.

Keesokan harinya, para perempuan ini kembali mengasah kemampuan menganyam. Kali ini membuat berbagai anyaman bentuk mangkuk berbagai ukuran. Beruntung memiliki pelatih yang sabar dan andal. Gaya juga ibu-ibu ini, sebentar-sebentar video call dengan keluarganya.

Sore harinya, sebagai penutup hari, para ibu-ibu berpose dengan bangga bersama hasil karya mereka. Senang sekali melihat keceriaan di muka para perempuan Watu Panggal ini. Keceriaan mereka adalah keceriaan Indonesia. Semangat mereka adalah masa depan Indonesia.

Berkaryalah terus perempuan Desa Watu Panggal. Suatu hari desa kalian akan menjadi penggerak roda ekonomi daerah. Berbanggalah semua anak dan lelaki bahwa kalian dikarunai berkah ibu-ibu yang tangguh!

Watu Panggal, Sebuah Jarak yang Terserak (1)
Tiga Perempuan Belajar Menganyam (2)

Tiga Perempuan Belajar Menganyam

Pada tahun 1987, 3 orang perempuan berangkat dari Desa Watu Panggal mengikuti pelatihan oleh Dinas Pemerintah (belum berhasil dikonfirmasi Dinas dari Kementerian atau Departemen apa pada saat itu). Dalam hati saya terbayang betapa sulitnya berangkat ke kota pada tahun itu. Kami datang pada tahun 2020 dengan 4 WD saja masih sulit mencapai desa ini.

Tiga perempuan ini pergi selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu baru. Pada era 1980-an, pemerintah gencar mengadakan pelatihan pemberdayaan potensi desa untuk mengembangkan kemampuan dan potensi desa desa.

Suasana pelatiahan di hotel. Foto: dok. pribadi

Tiga perempuan ini belajar metode menganyam dari daun pandan. Mulai dari pengolahan bahan mentah berupa daun pandan, sampai menjadi bahan siap anyam, ditutup dengan cara menganyam topi songkok.

“Pak, kenapa topi songkok?” tanya saya. Saya kira, saya akan mendapat jawaban yang filosofis.

“Memang diajarkannya itu,” jawab laki-laki. Sederhana.  

Benar juga,  untuk memulai sesuatu tidak perlu sebuah produk yang rumit. Cukup hal sederhana: bisa dipakai sendiri dan bisa dijual. Jika resep keduanya bertemu, jadilah sebuah awal mata rantai ekonomi.

Pikiran saya melayang pada perjuangan ketiga perempuan yang berangkat ke kota. Pada masa itu pastilah “sesuatu” untuk bisa berangkat ke kota. Terbayang harapan masyarakat desa pada “utusan” itu, untuk membawa oleh-oleh dari kota. Sebuah harapan akan sebuah perubahan. Sisi lain yang menarik bagi saya, kesempatan latihan itu diberikan kepada perempuan, bukan laki-laki. Bagaimana dulu mereka memutuskan?

Ingin sekali bertemu dengan ketiga perempuan itu dan ngobrol panjang lebar. Tapi sayang, mereka sudah tidak ada lagi. Sungguh besar jasa ketiga perempuan itu. Bless you dear ladies!

Hari ini, sudah  33 tahun kebaikan itu terus berlanjut di desa ini. Hal yang mereka pelajari pun mereka sebarkan sehingga memberikan kebaikan bagi desanya. Dari 3 orang perempuan, sekarang sudah berkembang menjadi 58 perempuan yang menghasilkan songkok khas Desa Watu Panggal. Mereka lahir dan besar di Desa Watu Panggal.  Lantas, apa yang memotivasi para perempuan ini menganyam?

 “Salah satu syarat untuk menikah dengan laki-laki Desa Watu Panggal adalah bisa dan mau belajar menganyam,” kata Bapak sepuh sebelah saya menjelaskan sambil menghembuskan asap rokoknya.Walah! Sampai sedemikian berakarnya menganyam songkok pandan ini.

Setelah 33 tahun tangan pemerintah menyentuh masyarakat Desa Watu Panggal melalui pelatihan menganyam topi songkok, kali ini kembali Pemerintah berusaha menguluran tangan untuk mengembangkan potensi “berlian” desa ini.

Tiga puluh tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengasah kualitas anyaman, halus dan rapi. Inilah yang membuat unik hasil pekerjaan para perempuan Desa Watu Panggal. Lebih hebat lagi, para perempuan ini membangun eksosistem yang lengkap, mulai dari memastikan pohon pandan tidak kekurangan. Masing-masing perempuan menanam stok pandan sebagai bahan baku anyaman,  kemudian kemudian mengolah menjadi bahan baku siap olah. Semua dikerjakan masing-masing dan juga bersama-sama.

Kegiatan menganyam telah menjadi bagaian dari kehidupan para perempuan. Merekap menyepakati, Hari Kamis sebagai hari kerja bareng. Saya membayangkan hari tersebut adalah hari “ngerumpi” mama-mama.

Belajar menganyam. Foto: Josua Simanjuntak

Pengamatan kami, keahlian ini merupakan berlian di timur Indonesia yang menanti untuk dipoles. Tepat kiranya ketika ada Uji dalam tim kami. Fauzy atau Uji, baru saja meraih penghargaan G-Mark Jepang yang sangat prestisius dan sulit diraih karena standar penilaian yang sangat tinggi. Keren ya talenta kita yang semakin hari semakin banyak diakui oleh dunia. Mereka pun juga “berlian” yang merupakan aset penting bangsa Indonesia.

Walau latar belakang Uji adalah desainer produk yang fokus kepada keramik dengn Studio Kandura-nya, tahun 2019 sempat melakukan pelatihan anyam topi di Kebumen. Produk inilah yang menjadi jawara. Berbekal prestasi tersebut, Uji bertugas melatih para ibu Desa Watu Panggal untuk mengembangkan berbagai produk baru.

Lantas, buat apa para ibu ini diajak untuk belajar menganyam jenis produk baru setelah 33 tahun mahir membuat songkok? Tidakkah songkok sudah cukup menghidupi dan menjadi kekhasan desa ini?

Watu Panggal, Sebuah Jarak yang Terserak (1)

Watu Panggal, Sebuah Jarak yang Terserak

“Jauh perjalannya dan jalannya pun buruk, Pak,” penjelasan kondisi perjalanan menuju ke desa Watu Panggal di Manggarai Barat. Peringatan dari sopir itu bertujuan agar saya menyiapkan mental dan juga tidak meletakkan ekspektasi yang berlebihan. Tapi bagi saya, tak ada yang jauh bila itu masih dalam naungan Merah Putih.

Perjalanan itu tiba ketika ebuah mobil 4 WD (wheel drive) menjemput saya. Pada saat melihat mobil itu, saya pun menyiapkan menyiapkan mental saya untuk off road, melintasi jalan yang ajrut-ajrutan. Bersama Tika Yulia, asisten saya, perjalanan itu pun dimulai.

Josua Sumanjuntak dan kendaraan menuju Watu Panggal. Foto: dok. pribadi

“Serius bener mobilnya, Pak!” sapa saya membuka pembicaraan dengan supir kami, Pak Peter.

“Terakhir ke sana kami pakai kendaraan biasa nyangkut di jalan, Pak!” jawab Pak Peter santai.

Alamak! Dalam hati ini bergumam,  kita sudah seperti mau tour Jumanji. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, begitu pepatah hari ini cocok meong banget.  Mobil 4 WD yang membawa kami sudah mencerminkan jalan yang akan kami lalui.

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menuju ke Bandara Labuan Bajo untuk menjemput konsultan pelatih yang akan bergabung dalam “rombongan sirkus” hari ini. Mereka adalah dua orang desainer dari Studio Kandura, Fauzy Kamal aka Mas Uji dan Mbak Nuri yang kecil mungil. Lengkap sudah rombongan punggawa Program Aksilarasi Kemenparekraf untuk memulai perjalanan menuju desa legendaris, Watu Panggal.

Saya sudah berpesan pada diri sendiri, menghibur diri dengan terlelap dan mendadak bangun bila sudah sampai lokasi untuk mengatasi jalan yang tidak nyaman. Ternyata perjalanan saya kira akan membosankan malah sebaliknya, sangat mengesankan.  

Bila M.A.W Brouwer pernah menulis bahwa Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, maka saya bisa tuliskan bahwa Sang Pencipta sedang genit-genit-Nya saat menciptakan Indonesia. Khusus saat meramu resep untuk Manggarai Barat, takaran bumbu-bumbunya sungguh tepat benar. Gunung ditambahkan sehingga sedap sekali hamparan visual lembah gunung lengkap dengan pohon-pohon nan hijau.

Mendadak di sebuah tikungan, kendaran berbelok masuk ke sebuah jalan desa yang nampak tidak mulus. Woah! Ternyata jalan ini makin ke dalam, makin liar alias makin tidak jelas bentuknya. Kadang disambut dengan kubangan air, kadang batu-batuan. Kadang terselip kelegaan ketika kami melintasi sepotong jalan beraspal, lumayan untuk istirahat “jogetan” dalam mobil.

Perjalanaman 12 km itu berhasil kami tempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam. Senyum ramah ibu-ibu Nusa Tenggara menyambut kami. Mayoritas yang hadir adalah perempuan, hanya ada 2 orang laki-laki perangkat desa setempat.

Selain senyum, sambutan mereka berupa topi songkok berbahan pandan, kopi, dan kue khas daerah setempat. Desa ini memang terkenal dengan topi songkok atau yang umum disebut peci yang terbuat dari anyaman pandan. Biasanya kalau berkunjung ke Labuan Bajo, sering mendapatkan peci anyam berwarna merah keunguan, hitam, dan putih. Topi songkok ini telah menjadi produk signature Labuan Bajo dan Manggarai Barat. Mengamati songkok hasil dari keahlian anyaman tingkat mahir ini memikat saya. Melihat saya penasaran, laki-laki tua sebelah saya mulai menyalakan rokok. Sebuah tanda akan bercerita sebuah sejarah panjang.

Para Perempuan Tangguh dari Watu Panggal, NTT

Membuka kisah awal tahun 2021, Abbasource menampilkan tulisan berseri dalam 3 edisi yang ditulis oleh Bapak Josua Simanjuntak, Staf Ahli Menteri Bidang Inovasi dan Kreativitas Kemenparekraf. Beliau menemui para perempuan pengrajin di  Desa Watu Panggal, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Melalui kisah perjalanan Pak Joshua, kita akan mengetahui betapa kaya Indonesia dengan craftmanship yang lekat di jemari masyarakat Nusantara bahkan di tempat-tempat yang aksesnya masih susah untuk dijangkau. Mengumpulkan mutiara-mutiara yang terpendam di pelosok Nusantara untuk menjadi pilar penyangga ketangguhan ekonomi berbasis kreativitas dan membawanya ke pasar global merupakan visi Abbasource.

Oleh sebab itu, jika para pembaca memiliki kisah serupa, dengan senang hati kami akan menerima tulisan untuk ditampilkan di sini. Kami menyediakan honor sebagai ganti minum kopi, tetapi lebih dari itu, mari kita sama-sama membangun ekosistem kreatif negeri ini. Berawal dari pendokumentasian mutiara-mutiara terpendam dari pelosok Nusantara.

Silakan kirim kisah Anda ke alamat email info@abbasource.com

Salam kreatif,

Titik Kartitiani
Editor in Chief Abbasource

0
Back to Top

Search For Products

Product has been added to your cart